Gue punya temen, namanya
Supri. Di usianya yang sudah menginjak kepala dua setengah itu, dia masih hidup
sendiri as jomblo. Tapi gue nggak ngeliat dia kesepian, gue nggak ngeliat dia
galau, yang gue liat dia selalu ceria. Setiap pulang kuliah, dia
suka menari-nari di depan pintu kamar sebelum dia menusukkan kunci ke
gagang pintu. Kadang dia nari balet, kadang dia breakdance, dan terakhir
gue liat dia melakukan tarian pemanggil hujan, dia kesamber petir.
Gue sempet kepikiran kok bisa dia tetap selalu ceria di saat usianya sudah cukup matang untuk berkeluarga, namun dia tidak memiliki kehidupan asmara?
Sebagai teman yang baik, gue mencoba untuk menjadi manusia. Ya, manusia yang bisa berkomunikasi dari hati ke hati. Gue nggak mau nanyain ke orang lain tentang Supri yang mungkin akan berujung gossip. Gue milih untuk langsung nanyain ke orangnya.
NAH, di postingan kali
ini, gue mau nyoba untuk membahas tentang beberapa alasan orang yang
memilih hidup sendiri. Here they are:
Ya, gue takut kehilangan lagi. Itulah kenapa, gue malas untuk memiliki.
Gue sempet kepikiran kok bisa dia tetap selalu ceria di saat usianya sudah cukup matang untuk berkeluarga, namun dia tidak memiliki kehidupan asmara?
Sebagai teman yang baik, gue mencoba untuk menjadi manusia. Ya, manusia yang bisa berkomunikasi dari hati ke hati. Gue nggak mau nanyain ke orang lain tentang Supri yang mungkin akan berujung gossip. Gue milih untuk langsung nanyain ke orangnya.
"Pri.. Kok lo bisa tetep ceria terus sih meskipun elo jomblo?" Gue nanya ke doi sambil nyemir ban motor gue.
"Ha? Tumben lo tanya
beginian?" Supri yang sedang sibuk nyedotin uap bensin dari tangki motor
gue pun mendadak mengalihkan perhatiannya ke arah gue.
"Hehe.. Abisnya gue penasaran sih.. Kok elo jomblo tapi enggak melo?" Gue masih ngelanjutin nyemir ban motor pake semir sepatu.
Dengan mata yang agak
merah karena mabok bensin, Supri menjawab sembari bertanya, "Emang
melankolis, sendu, sedih, itu sifat yang harus dimiliki oleh jomblo ya?"
"Yang gue denger sih biasanya gitu." Gue menjawab dengan nada datar karena gue sendiri kurang yakin dengan jawaban gue.
"Haha! Apa yang lo denger, apa yang lo liat, nggak mutlak harus lo ikutin kan?"
"Maksudnya?!" Gue makin bingung dengan pertanyaan Supri.
Supri pun duduk jongkok
di samping gue, lalu menepuk pundak gue dan bertanya, "Pernah gak lo
ngeliat ilalang tumbuh sendirian? Indah?"
Gue menggelengkan kepala.
"Pernah gak lo make sebatang lidi buat nyapu? Bersih?"
Gue kembali menggelengkan kepala, "Tidak."
"Pernah gak lo nyoba
buat boker rame-rame? Nyaman? Tidak." Supri mengakhiri rentetan
pertanyaannya dengan cara dia jawab sendiri.
"Gue masih belum paham."
Gue ngucapin kalimat itu sambil minum paracetamol karena mulai sakit
kepala dengan kalimat-kalimat Supri.
Supri kembali berdiri,
membuka tangki bensin motor gue, lalu menghirup uapnya dalam-dalam. Dia
pun kembali menjelaskan, "Gini.. Hidup itu punya banyak fase untuk kita
jalani. Ada fase yang memang bisa dinikmati sendirian, karena tidak bisa
dilalui dengan orang yang tidak tepat. Ada pula fase hidup yang memang
cuma bisa dinikmati bukan sendirian. Analoginya kayak ilalang, meskipun
dia tidak indah kalo dia berdiri sendiri, dia akan lebih tidak indah
kalo dia berdiri ramai-ramai dengan lidi. Kenapa? Karena tidak cocok.
Ketidakcocokan akan menciptakan ketidakharmonisan. Tidak perlu
dipaksakan."
Gue mengangguk perlahan,
merasa mengerti, tapi masih perlu penekanan. Supri melanjutkan, "Dan
saat ini, gue lagi jadi ilalang itu. Gue sedang tumbuh sendiri, di
sekitar gue nggak ada ilalang lain yang bisa diajak untuk tumbuh
bersama. Jadi, buat apa gue maksa untuk berdiri dengan lidi hanya agar
terlihat tidak sendiri? Hasilnya tidak akan indah, kan?"
OKE! ITU SEKILAS KUTIPAN DARI @SHITLICIOUS :V
Belum ada yang cocok
Banyak orang memakai
alasan ini saat memilih untuk sendiri. Memang ini alasan yang masuk
akal, karena memaksakan diri untuk menciptakan hubungan dengan orang
yang tidak tepat, cuma akan membuang waktu. Ya, kita tahu bahwa hubungan
itu akan gagal, tapi tetap dipaksakan untuk berjalan. Akhirnya,
seberapa lamapun kita bertahan, endingnya waktunya akan terbuang karena
ketemu juga dengan kegagalan.
Namun alasan belum ada
yang cocok ini kadang menjebak orang yang memilih untuk sendiri. Karena
sudah terlalu lama sendiri, akhirnya dia susah untuk percaya dengan
orang lain lagi. Sehingga saat PDKT, tanpa sadar dia tak nyaman untuk
membuka hati maupun berbagi isi hati. Akhirnya, gebetan pun bakal mikir
dia nggak asik, dia pun nggak bakal mikir gebetannya nggak asik. Gagal
deh. Akhirnya dia nggak pernah ketemu dengan orang yang cocok.
Trauma
Pernah ngejalanin
hubungan yang sangat menyenangkan dengan seseorang. Hingga dia pun
mempercayakan masa depannya kepada orang itu. Di saat dia
sayang-sayangnya, ternyata orang yang dia percaya itu pergi gitu aja
ninggalin dia. Dia pun kapok untuk percaya dan sayang sama orang lagi,
sehingga dia memilih untuk hidup sendiri.
Biasanya sih cewek yang
lebih mudah trauma. Soalnya cewek akan malas untuk PeDe lagi sama orang
baru, nunjukin hal-hal yang dia sembunyiin kepada orang baru, atau
kenalan lagi sama keluarga baru. Siklus itu adalah siklus yang cukup
berat buat cewek, soalnya pada dasarnya mereka adalah makhluk yang
pemalu, tidak seterbuka cowok. Mereka cuma mau melakukan hal-hal itu
kepada orang yang bener-bener mereka percaya. Tapi ya gitu deh..
Membangun kepercayaan itu tak sesusah mempertahankan kepercayaan. Namun
yang lebih berat lagi adalah mengembalikan kepercayaan.
Tapi, menurut gue, hidup
memang seperti itu. Kita harus tahu rasanya kecewa, agar kita tahu
bagaimana cara menjaga saat dipercaya. Kita tidak boleh terjebak dalam
trauma. Mungkin ini klise, tapi kalo kita terjebak di masa lalu,
bagaimana mungkin siap menerima masa depan yang lebih indah? Kalo kita
selalu terduduk jongkok setelah dikecewakan dunia, bagaimana kita bisa
mencapai jalan menuju surga?
Terjebak Me-time
Ini alasan yang
sebenernya gue banget. Gue adalah tipikal orang yang kadang lebih nyaman
di saat sendiri. Gue kadang nggak suka berada di keramaian. Kadang gue
menemukan kedamaian dalam sepi. Bahkan, gue bisa merayakan kemerdekaan
gue dalam sepi dengan cara pake kolor doang seharian di kamar gue yang
gue tutup.
Terlalu lama melakukan
rutinitas itu bikin gue males ketemu orang baru, males melakukan hal-hal
baru, dan ntah kenapa gue nggak bosen sepanjang weekend diisi dengan
estafet nonton film dan nulis postingan baru. Gue takut kalopun ada yang
nyoba deket, dengan kebiasaan gue yang macam ini, dia nggak bakal
ngerasa nyaman karena mungkin itu adalah kegiatan yang membosankan.
Ntah kenapa, makin tua
usia gue, gue ngerasa semakin mengenal dunia dan manusia. Susah mencari
orang yang benar-benar bisa dipercaya, susah membedakan orang yang
benar-benar peduli, dan susah menemukan orang yang benar-benar tulus.
Teman yang dulu akrab banget, dengan alasan finansial, bisa pergi. Teman
yang dulu sehati, karena urusan karier bisa mencaci. Teman yang dulu
sering tidur bareng, karena urusan asmara bisa tiba-tiba menciptakan
prahara. Semua "siklus-penemuan-dan-kehilangan" itu membuat gue semakin
ngerasa hambar dalam hubungan.
Ya, gue takut kehilangan lagi. Itulah kenapa, gue malas untuk memiliki.
Mungkin itu terdengar
menyedihkan, tapi ntah kenapa, gue nggak ngerasa sedih maupun kesepian.
Kesendirian dan kesepian itu berbeda. Kesepian
itu tidak selalu terjadi di saat sedang sendiri. Kesepian itu adalah di
saat ada banyak orang di sekitar, namun tidak ada yang bisa mengerti. So, I've tried to understand myself.
Tulisan diatas gak sepenuhnya curahatan hati gw, gak menutup kemungkinan itu curahan temen gw, dosen gw, nenek gw, ibuk kos gw kaan?
*SUNSHINEE* BE INSPIRATIVE!